banner 728x250

Bongkar Mafia Tanah, Pungli, dan Dugaan Korupsi Dana Desa

banner 120x600
banner 468x60

 

Simalungun – Sumatera Utara, nusantarabersahabat.com :

banner 325x300

Dugaan praktik mafia tanah, pungutan liar, dan penyalahgunaan wewenang dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kabupaten Simalungun memasuki babak baru. Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) DPD Sumut resmi memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun untuk mengambil keterangan , menyerahkan bukti dan klarifikasi atas laporan yang dinilai sarat indikasi tindak pidana korupsi dan manipulasi aset negara.

Kehadiran AKPERSI diterima langsung oleh Kasi Intel Kejari Simalungun, Adi Perdana Lubis, SH, yang menegaskan komitmen lembaganya:

“Kejaksaan negeri akan selalu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, baik dalam bentuk pengaduan, pelaporan, hingga penetapan hukum,” ujarnya di kantor Kejari, Selasa (12/8/2025).

Ketua AKPERSI DPD Sumut, KH. R. Syahputra, menilai langkah tegas Kejari sebagai kunci membangun kembali kepercayaan publik:

“Penegakan hukum yang tegas akan meningkatkan kepercayaan publik. Pemberantasan korupsi, pungli, dan penjualan aset negara harus dimulai dari tingkat kejaksaan negeri.”

62 Sertifikat Tanah Diduga Ilegal

Berdasarkan keterangan resmi AKPERSI kepada penyidik, sedikitnya empat pelanggaran utama terungkap:

1. Mafia Tanah — Penerbitan 62 sertifikat tanah TA 2024–2025 tanpa persetujuan ahli waris sah. Dugaan keterlibatan Camat Huta Bayu Raja Ferry Risdoni Sinaga, Pangulu Silakkidir Heplin Marpaung, dan oknum di BPN Simalungun menguat.

2. Pungli Sistematis — Penarikan biaya Rp8–33 juta per sertifikat, jauh di atas tarif resmi PTSL Rp450 ribu. Bukti kwitansi bermaterai bertanda tangan Pangulu mengindikasikan potensi pungli hingga ratusan juta rupiah.

3. Penggelapan Aset Negara — Satu unit traktor bantuan pemerintah untuk kelompok tani Silakkidir diduga dialihkan secara ilegal.

4. Penyelewengan Dana Desa — Indikasi penggandaan anggaran pada proyek infrastruktur dan kegiatan desa.

Dana Desa: Proyek Diduga Digandakan

Investigasi lapangan menemukan dugaan manipulasi anggaran di Desa Silakkidir, Kecamatan Huta Bayu Raja. Proyek pembangunan jembatan desa di Dusun II, Hutabaru, yang seharusnya memperkuat akses warga, tercatat dua kali dalam tahun anggaran yang sama:

Proyek pertama: Rp24.401.000
Proyek kedua: Rp44.500.000

MPadahal lokasi kedua proyek identik. Dugaan kuat, ini merupakan modus penggandaan proyek untuk keuntungan pribadi.

Laporan Keuangan Desa 2024: Indikasi Korupsi Struktural

Berdasarkan Laporan Realisasi Dana Desa Silakkidir 2024 (pembaruan 19 Desember 2024, total pagu Rp961.370.000), ditemukan pola mencurigakan:

Penyelenggaraan Posyandu tercatat 5 kali, total melebihi Rp185 juta.

Pengadaan Profil Desa dianggarkan 3 kali (total Rp18.963.000).

Pengadaan jaringan komunikasi desa Rp21.500.000.

Pembangunan jembatan desa Rp128.962.000.

Pengulangan anggaran ini diduga sebagai rekayasa administratif untuk memecah pencairan dan menggelembungkan nilai proyek.

Minim Transparansi, Langgar Regulasi

Investigasi juga menemukan tidak adanya papan informasi proyek, pelibatan warga, maupun musyawarah desa sebagaimana diatur Permendesa PDTT No. 13/2020 dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Praktik ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tetapi indikasi korupsi sistemik,” tegas R. Syahputra.

Tanah Adat Disertifikatkan Sepihak

Kasus kian panas setelah terungkap bahwa tanah adat peninggalan Tuan Djintama Sinaga, Raja Tanah Jawa Simalungun, di Huta III, Nagori Silakkidir—yang secara adat tak boleh disertifikatkan—justru diubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui PTSL pada Oktober 2023 tanpa musyawarah adat dan tanpa persetujuan ahli waris.

Seorang pemerhati hukum AKPERSI menyebut:

“Ini bukan sekadar pungli. Ada indikasi penghilangan hak waris, manipulasi sejarah tanah adat, dan penyalahgunaan jabatan. Jika terbukti, ini masuk kategori penyalahgunaan wewenang dan pemalsuan administrasi pertanahan.”

Tuntutan Publik

Ahli waris dan masyarakat menuntut Kejari Simalungun mengusut keterlibatan oknum pejabat desa, kecamatan, dan BPN. Mereka meminta klarifikasi data, audit anggaran Dana Desa 2024, dan pemeriksaan keabsahan sertifikat tanah yang diterbitkan.

Program PTSL seharusnya menjadi sarana legalisasi aset warga dan pemberdayaan masyarakat, bukan ladang subur korupsi yang memicu konflik horizontal.

Pertemuan AKPERSI dengan Kejari Simalungun berlangsung lancar, dan pihak AKPERSI menyatakan akan menunggu hasil kinerja kejaksaan dalam menuntaskan kasus ini.

Reporter :

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *