Oleh : Dian Istiqomah
Jakarta, nusantarabersahabat.com :
Rak-rak toko modern kini kosong dari beras premium. Yang muncul justru pemain baru: beras fortifikasi, beras yang diperkaya gizi mikro. Harganya? Jauh lebih mahal.
Jika beras premium biasanya dijual Rp74.500-Rp79.000 per 5 kg, beras fortifikasi bisa mencapai Rp90.000-Rp130.000.
Kemunculannya yang masif di tengah kelangkaan ini disinyalir memanfaatkan situasi.
Seperti disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, “Ini bisa mengecoh konsumen. Harganya yang lebih mahal dapat membebani dan menggerus daya beli.”
Kelangkaan ini berawal dari temuan mengejutkan Kementerian Pertanian pada Juni 2025. Dari 136 sampel beras premium yang diperdagangkan, 85,6% di antaranya tidak memenuhi standar mutu.
Lebih parah lagi, hampir 60% dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) dan 21,6% volumenya dikurangi.
Pemerintah menindak tegas dengan memberikan tenggat waktu dua minggu bagi produsen untuk berbenah. Namun, respons produsen justru tak terduga: mereka mengurangi peredaran beras premium di pasar, dan beralih ke beras fortifikasi yang harganya tidak diatur.
Pemerintah lalu meluncurkan serangkaian kebijakan yang justru menjadi bumerang. Pertama, beras oplosan yang sudah terlanjur beredar boleh dijual, asalkan harganya lebih murah.
Kedua, pengawasan diperluas ke potensi penimbunan. Paling kontroversial, rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium, diganti menjadi beras reguler dan khusus.
Ironisnya, di tengah semua rencana ini, yang terjadi justru pemerintah menaikkan HET beras medium, sementara HET beras premium tidak disesuaikan.
Hal ini menunjukkan adanya salah urus tata kelola perberasan.
Mengubah Pangan Pokok
Krisis beras premium adalah cermin dari sistem pangan yang kaku dan lambat beradaptasi. Kebijakan yang ada saat ini hanya berputar pada regulasi harga dan distribusi, yang terbukti tidak efektif.
Pemerintah perlu melangkah lebih jauh dengan solusi yang radikal dan visioner untuk mengatasi akar masalah, yaitu ketergantungan pada satu jenis komoditas: beras.
Kita harus berani mendefinisikan ulang apa itu “pangan pokok.” Mengapa tidak mencoba diversifikasi pangan dengan fokus pada komoditas lokal yang mudah ditanam dan bernutrisi tinggi? Pemerintah bisa meluncurkan program nasional yang mempromosikan dan mensubsidi bahan pangan alternatif selain beras.
Misalnya, ubi jalar, singkong, sagu, atau sorgum. Ini bukan sekadar kampanye, tetapi sebuah sistem yang terintegrasi.
Seperti diungkap oleh Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, krisis pangan saat ini menuntut setiap negara untuk “membuat perdagangan makanan dan pertanian lebih dapat diprediksi” dan “memastikan adanya aliran makanan, terutama ke negara-negara yang paling membutuhkannya”.
Dengan mengalihkan subsidi pupuk dan bibit dari hanya berfokus pada padi ke komoditas lokal lain, pemerintah dapat memberikan insentif khusus bagi petani yang beralih atau menambahkan komoditas ini.
Selanjutnya, bangun jaringan distribusi khusus untuk produk pangan diversifikasi. Sediakan fasilitas pengolahan modern di sentra-sentra produksi agar produk bisa diolah menjadi tepung, mie, atau produk olahan lain yang lebih tahan lama dan mudah didistribusikan.
Luncurkan juga kampanye masif di media sosial, sekolah, dan komunitas untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat gizi dan ekonomi dari diversifikasi pangan.
Bayangkan jika setiap provinsi memiliki “pangan pokok” unggulannya sendiri, sesuai dengan kekayaan alamnya. Jawa dengan ubi, Papua dengan sagu, dan Nusa Tenggara dengan sorgum.
Ini tidak hanya menyelesaikan masalah kelangkaan beras, tetapi juga menciptakan ketahanan pangan yang jauh lebih kuat dan berkelanjutan.
Membangun Ekosistem Mandiri
Masalah beras juga berakar pada rantai pasok yang panjang dan rentan. Dari petani ke penggilingan, ke distributor, hingga ke ritel, setiap tahap menambah biaya dan risiko.
Alih-alih mengandalkan distributor besar, kita bisa memberdayakan komunitas lokal untuk membangun ekosistem pangan mandiri mereka sendiri.
Dukung pendirian penggilingan padi milik komunitas atau desa. Ini akan memotong rantai pasok yang panjang dan memberikan nilai tambah langsung kepada petani.
Pemerintah dapat menyediakan bantuan modal atau teknologi untuk meningkatkan efisiensi.
Petani juga bisa membentuk koperasi yang langsung menjual produknya ke konsumen, baik melalui toko fisik maupun platform daring. Ini tidak hanya menekan harga, tetapi juga memastikan kualitas produk terjaga.
Konsumen bisa tahu langsung siapa petani yang menanam berasnya. Untuk mendukung semua ini, kembangkan aplikasi atau platform digital yang menghubungkan langsung petani dengan konsumen.
Platform ini bisa menggunakan teknologi blockchain untuk melacak asal-usul beras dan memastikan keasliannya.
Pendekatan ini akan menggeser kekuasaan dari segelintir distributor besar ke tangan petani dan komunitas. Dengan sistem yang lebih transparan dan efisien, masalah penimbunan, beras oplosan, dan harga yang tidak adil akan berkurang drastis.
Pada akhirnya, kelangkaan beras premium adalah alarm bagi kita untuk berpikir di luar kotak. Solusi jangka pendek seperti subsidi dan regulasi harga hanya akan menunda masalah.
Yang kita butuhkan adalah transformasi fundamental dalam cara kita memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan.
Ini adalah kesempatan emas untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh, adil, dan mandiri. Namun pertanyaannya apakah kita bisa ambil kesempatan emas ini atau malah menambah cemas nya pangan kita.
Jurnalis : Redaksi Pusat