Jakarta, nusantarabersahabat.com :
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Muslim Indonesia (GAPMI), Hilman Indra, meminta pemerintah untuk bersikap waspada dan antisipatif terhadap potensi ekses dari kebijakan stimulus fiskal senilai Rp. 200 triliun yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan Purabaya.
Meskipun mengakui niat baik pemerintah untuk mendorong perekonomian, Hilman menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada mitigasi risiko yang matang dan implementasi yang tepat. Senin, 10 November 2025.
“Kebijakan stimulus ini, dengan dana yang mencapai sekitar 1% dari PDB, memang berpotensi besar untuk menggerakkan kembali roda ekonomi, meningkatkan konsumsi, dan menciptakan lapangan kerja. Namun, kita tidak boleh lengah,” ujar Hilman, yang juga seorang mantan anggota DPR RI periode 2004-2009.
“Ada beberapa risiko yang harus diantisipasi dengan serius agar kebijakan ini tidak menimbulkan masalah baru di masa depan.”
Hilman menyoroti tiga area utama yang berpotensi menjadi titik lemah dari kebijakan stimulus ini :
1. Risiko Fiskal dan Utang Negara
Menurut Hilman, kebijakan stimulus yang masif berpotensi meningkatkan defisit anggaran dan menumpuk utang negara. Ia mengingatkan agar Indonesia belajar dari kasus Sri Lanka, di mana defisit fiskal kronis akibat kebijakan populis seperti subsidi berlebihan dan pemotongan pajak yang tidak berkelanjutan menjadi pemicu utama krisis utang.
“Kasus Sri Lanka menjadi pengingat penting bagi kita. Yang harus diperhatikan bukan hanya rasio utang terhadap PDB, tapi juga tren dan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dalam jangka panjang,” kata Hilman. “Tanpa reformasi pajak dan penguatan sumber pendapatan, kebijakan populis bisa menjadi bumerang yang tidak terhindarkan.”
2. Ancaman Inflasi dan Efek Crowding-Out
Hilman juga memperingatkan tentang potensi tekanan inflasi. Ia menjelaskan bahwa jika stimulus meningkatkan permintaan agregat tanpa diimbangi oleh peningkatan kapasitas produksi, harga-harga barang dan jasa dapat melonjak. [2] Selain itu, ia juga khawatir akan terjadinya efek crowding-out, di mana belanja besar pemerintah menyedot sumber daya keuangan, yang pada gilirannya dapat menaikkan suku bunga dan menghambat investasi sektor swasta.
“Pemerintah harus memastikan bahwa stimulus ini tidak sekadar menaikkan daya beli, tetapi juga merangsang produksi. Jika tidak, yang terjadi hanyalah kenaikan harga yang justru akan menggerus daya beli masyarakat yang sedang kita coba bantu,” jelasnya.
3. Tantangan Implementasi yang Lambat dan Tidak Tepat Sasaran
Mantan anggota parlemen itu juga menyoroti masalah klasik dalam birokrasi, yaitu penyerapan anggaran yang lambat. Berdasarkan data historis, penyerapan dana pemerintah daerah pada semester pertama seringkali jauh di bawah target, membuat uang mengendap di bank alih-alih beredar di masyarakat.
“Kita punya pengalaman di masa lalu, seperti saat stimulus 2009, di mana alokasi dana tidak selalu tepat sasaran dan tidak menjangkau wilayah yang paling membutuhkan.
Pemerintah harus memastikan dana ini tersalurkan dengan cepat dan ke sektor-sektor yang memiliki efek pengganda terbesar, seperti proyek padat karya dan insentif untuk UMKM,” pungkas Hilman.
Hilman Indra merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada tiga pilar utama: timely (tepat waktu) dalam penyaluran, targeted (tepat sasaran) dalam alokasi, dan temporary (sementara) dalam durasi, agar manfaat stimulus dapat dirasakan secara optimal dan risikonya terkendali.
Reporter : Redaksi Pusat


















