JAKARTA, nusantarabersahabat.com :
Di sebuah aula besar Asrama Haji Pondok Gede, Rabu siang, Majelis Gerakan Akhir Zaman (GAZA) memperlihatkan cara baca dunia yang jarang muncul di forum-forum arus utama. Rabu, 10 Desember 2025
Seminar Blueprint & Roadmap Langit 2026–2029 itu memadukan tafsir geopolitik dengan ribuan mubasyirat—mimpi yang diyakini sebagian umat sebagai pesan simbolik. Di hadapan ratusan peserta, GAZA mencoba merumuskan arah zaman empat tahun ke depan.
Ketua GAZA, Diki, menyebut peta jalan tersebut bukan ramalan, melainkan upaya membaca pola. Sejak beberapa tahun terakhir, jaringan mereka mengumpulkan ribuan narasi mimpi dari berbagai daerah, kemudian menafsirkannya bersama analisis sosial, ekonomi, dan politik.
“Kami mencari benang merah,” kata Diki. Di forum itu, mimpi diperlakukan bukan sebagai pengalaman personal, tetapi data kualitatif yang mengisyaratkan kecenderungan besar.
Menurut paparan mereka, tahun 2026 menjadi titik awal “kesadaran dan konsolidasi”. Tekanan ekonomi global disebut dapat memicu ledakan inisiatif mandiri di tingkat komunitas—lumbung pangan, energi kecil berbasis warga, hingga gerakan pemurnian nilai.
Indonesia, dalam pembacaan mereka, akan berada di persimpangan diplomatik dengan tekanan dari berbagai poros kekuatan.
Tahun 2027 dipetakan sebagai babak ujian. GAZA melihat potensi guncangan integritas bagi elite politik, termasuk isu ketergantungan pada kekuatan asing. Nilai tukar diperkirakan tertekan, sementara bencana alam atau krisis kesehatan disebut dapat menjadi penentu efektivitas pemerintah.
Di panggung global, ketegangan di Timur Tengah dan Asia Selatan diproyeksikan meningkat ke tingkat paling intens dalam satu dekade terakhir.
Pada 2028, narasi yang muncul lebih keras. GAZA menyebut tahun itu sebagai masa “peralihan dan konflik besar”. Politik domestik diperkirakan dipenuhi pertarungan identitas dan isu kedaulatan.
Krisis energi, pangan, dan ekonomi dapat memicu protes terbatas. Sementara itu, sejumlah titik panas—Kashmir, Ukraina, dan Laut Cina Selatan—dipandang sebagai pemantik yang dapat memperluas konflik regional.
Gambaran 2029 tak kalah dramatis. Seminar menyebut kemungkinan lahirnya kepemimpinan baru yang lebih berorientasi kemandirian, atau terjadinya koreksi konstitusional besar. Di tingkat kawasan, Indonesia diproyeksikan menjalin aliansi strategis bersama Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh—sebuah poros baru dunia Islam yang muncul dari kevakuman tatanan global lama.
Dalam versi GAZA, dunia 2029 akan memasuki fase pascakonflik besar dengan tatanan geopolitik yang bergeser ke arah multipolar. Mereka melihat peluang kebangkitan spiritual dan politik umat Islam, dibarengi pertarungan narasi mengenai masa depan global. Bagi GAZA, inilah tahap awal menuju periode yang mereka sebut masa-masa penentu.
Di akhir presentasi, Diki menekankan bahwa seluruh proyeksi ini ditujukan sebagai peringatan dini. “Kesiapsiagaan bukan paranoia,” ujarnya.
Peserta yang hadir tak hanya mencatat, tetapi juga mempertanyakan, menimbang, dan menerjemahkan ulang pembacaan GAZA terhadap dunia yang berubah cepat—sebuah pemandangan yang memperlihatkan bagaimana mimpi, data, dan kecemasan kolektif bertemu di satu ruang.
Reporter : Redaksi Pusat


















