Jakarta, nusantarabersahabat.com :
Isu bahaya paparan asbes kembali menjadi perbincangan hangat setelah sejumlah pihak menyoroti penggunaannya dalam produk bangunan, terutama atap rumah. Isu tersebut dipaparkan oleh asosiasi internasional bersama para peneliti dari Universitas Indonesia (UI) pada sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Dari hasil riset terbaru peneliti UI berkonsentrasi pada debu fiber semen pasca gempa bumi. Peneliti UI Prof. Sjahrul menjelaskan, simulasi gempa dengan penghancuran material atap menunjukkan kadar debu yang terbang ke udara masih 10 kali lebih rendah dari ambang batas yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja.
Sampel udara yang dihisap dengan exhaust selama hampir tiga jam lalu dianalisis di laboratorium independen menunjukkan nilai rata-rata hanya 0,016, jauh di bawah standar 0,15 cc.
“Artinya, walaupun terjadi gempa besar dan atap hancur, potensi bahayanya pada kesehatan sangat minim.
Justru yang lebih berisiko adalah tertimpa material, bukan terpapar debu fiber semen,” ujar Sjahrul, dalam jumpa pers di Jakarta , Selasa (16/9/2025).
Dalam forum tersebut juga ditegaskan pentingnya edukasi masyarakat agar dapat membedakan antara fiber (serat panjang) dengan partikulat (butiran kecil seperti pasir).
Sjahrul menyebutkan, dalam kondisi nyata, debu dari atap yang berbahan semen lebih sering berbentuk partikulat yang tidak berbahaya jika sesuai ambang batas.
Selain itu, pemahaman dasar sains tentang kerja paru-paru juga disampaikan. Alveolus, sel kecil di paru-paru, bekerja mengatur pertukaran oksigen dan karbondioksida serta menjadi pertahanan alami tubuh. Makrofag di dalamnya berperan melawan bakteri atau zat asing yang masuk.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif FICMA Jisman mengatakan, pada PH netral, partikel pendek mudah hancur dan keluar dari tubuh tanpa menimbulkan kerusakan serius.
“Cepat hilang dalam tubuh. Jadi asbes ini tidak mengendap di dalam tubuh,” tuturnya.
Meski penelitian menunjukkan hasil positif, polemik hukum tetap membayangi. Saat ini tengah berlangsung gugatan hukum antara perusahaan dan LPKSM terkait terminologi ‘asbes’ dalam regulasi.
Perusahaan menilai ada kekeliruan karena produk yang dipasarkan kini adalah fiber semen, bukan lagi murni asbes berbahaya.
“Di semua dokumen resmi kami tidak lagi menyebut asbes, melainkan lembaran semen bergelombang atau fiber semen.
Perubahan istilah ini penting agar tidak menimbulkan stigma,” kata perwakilan Ahli Toksikologi/Chrystotile Mr. Bernstein.
Dalam diskusi, isu internasional juga mencuat. Data menunjukkan sekitar 70 negara, mayoritas negara maju, telah berhenti menggunakan asbes.
Namun, masih ada 150 negara termasuk Indonesia yang menggunakan fiber semen karena alasan daya tahan hingga 50 tahun dan biaya yang lebih murah.
Jurnalis : Edo Lembang


















